MENGAPA KITA ADA DI SINI ?


Pada Masa Vassa kali ini, saya tidak mempunyai banyak tenaga, saya tidak begitu sehat, jadi saya datang ke pegunungan ini untuk mendapatkan udara segar. Orang-orang datang berkunjung, tetapi saya tidak benar-benar dapat menerima mereka seperti biasanya karena suara saya sudah hampir habis, dan nafas saya sudah hampir tiada. Kalian dapat menganggapnya sebagai sebuah berkah dengan masih adanya tubuh yang sedang duduk di sini untuk kalian lihat sekarang. Ini adalah pemberkahan di dalam dirinya sendiri. Tak lama lagi kalian tidak akan melihatnya lagi. Nafas akan berakhir, suara akan hilang. Sang Buddha menyebutnya khaya-vayam, kemerosotan dan penghancuran semua fenomena yang berkondisi.

Bagaimana caranya mereka mengalami kemerosotan? Ambil contoh sebongkah es. Pada mulanya ia hanyalah air… mereka membekukannya dan ia menjadi es. Tapi tidak diperlukan waktu yang lama sebelum ia mencair. Ambil sebongkah es yang besar, katakanlah sebesar tape recoder ini, dan biarkanlah ia diterpa sinar matahari. Kalian dapat melihat bagaimana ia berkurang, seperti halnya dengan tubuh kita. Ia akan secara bertahap terurai. Dalam beberapa jam atau menit saja, yang tinggal hanyalah kubangan air. Ini yang disebut khaya-vayam, melapuk dan terurainya semua benda-benda yang berkomposisi. Hal ini telah berlangsung untuk jangka waktu yang lama, dimulai sejak berawalnya waktu. Ketika kita lahir, kita membawa sifat alamiah yang tak terpisahkan ini ke dunia bersama kita, kita tidak dapat menghindarinya. Pada saat lahir, kita membawa usia tua, sakit dan kematian bersama kita.

Jadi, inilah mengapa Sang Buddha menyebutnya khaya-vayam, melapuk dan terurainya semua benda-benda berkomposisi. Kita semua yang duduk di ruangan ini sekarang, para bhikkhu, samanera, umat awam pria dan wanita, tidak terkecuali adalah “bongkahan yang akan hancur”. Untuk saat ini bongkahannya masih keras, seperti bongkahan es. Ia bermula dari air, menjadi es untuk beberapa saat dan kemudian mencair lagi. Dapatkah kalian lihat perubahan ini di dalam diri kalian? Lihatlah tubuh ini. Dia menjadi semakin tua setiap hari… rambut menua, kuku menua… semuanya menjadi tua!

Kalian tidak seperti ini sebelumnya, bukan ? Kalian mungkin jauh lebih kecil. Sekarang kalian sudah tumbuh berkembang dan dewasa. Mulai dari sekarang kalian akan merosot, mengikuti jalan alamiah. Tubuh akan melapuk, sama seperti bongkahan es. Tak lama lagi, seperti es, semuanya akan hilang. Semua tubuh terdiri dari empat unsur dari tanah, air, angin dan api. Tubuh adalah tempat pertemuan dari tanah, air, angin dan api, yang kemudian kita sebut sebagai orang. Awalnya sangat sulit untuk menyebutkan panggilan apa yang akan kalian pakai, tetapi kini kita menyebutnya “orang”. Kita dibodohi olehnya, menyebutnya seorang pria, wanita, memberinya nama-nama, Tuan, Nyonya, dan seterusnya, supaya kita dapat menandai satu sama lain dengan lebih mudah. Tetapi sebenarnya tidak ada seorang pun di sana. Mereka hanyalah tanah, air, angin, dan api. Ketika mereka datang berkumpul dalam bentuk ini, kita menyebutnya sebagai “orang”. Sekarang, janganlah terlalu bersemangat akan hal ini. Jika kalian benar-benar melihat ke dalamnya, tidak ada seorang pun di sana.

Yang bersifat padat di dalam tubuh, daging, kulit, tulang dan seterusnya, disebut unsur tanah. Bagian-bagian tubuh yang bersifat cair adalah unsur air. Bagian tubuh yang hangat adalah unsur api, sedangkan udara yang mengalir dalam tubuh adalah unsur angin.

Di Wat Pah Pong, kita mempunyai sebuah tubuh yang bukan pria maupun wanita. Ia adalah tengkorak yang tergantung di ruangan utama. Dengan melihatnya, kalian tidak memiliki perasaan bahwa ia adalah pria ataupun wanita. Orang-orang saling bertanya apakah itu seorang pria atau wanita dan kemudian satu-satunya yang bisa mereka lakukan hanyalah melongo satu sama lain. Ia hanyalah sebuah tengkorak, semua kulit dan dagingnya telah hilang.

Kebanyakan orang tidak memperdulikan hal-hal ini. Beberapa orang pergi ke Wat Pah Pong, masuk ke ruangan utama, melihat tengkorak… dan mereka langsung berlarian keluar lagi! Mereka tidak tahan melihatnya. Mereka takut, takut kepada tengkorak. Saya menduga orang-orang ini tidak pernah melihat diri mereka sendiri sebelumnya. Takut akan tengkorak… mereka tidak merenungkan nilai yang begitu besar dari sebuah tengkorak. Untuk pergi ke vihara, mereka harus mengendarai mobil atau berjalan kaki… jika mereka tidak mempunyai tulang, akan bagaimana mereka jadinya ? Dapatkah mereka berjalan seperti itu ? Tapi mereka mengendarai mobil ke Wat Pah Pong, masuk ke ruang utama, melihat tengkorak dan langsung berlarian keluar lagi! Mereka tidak pernah melihat benda seperti ini sebelumnya. Mereka dilahirkan dengan tengkorak, namun mereka tidak pernah melihatnya. Sangatlah beruntung jika mereka mempunyai kesempatan untuk melihatnya sekarang. Bahkan orang-orang tua ketika melihat tengkorak, menjadi takut… Ada gerangan apa ini semua? Ini menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak dekat dengan diri mereka sendiri, mereka tidak benar-benar mengenali diri mereka sendiri. Mungkin mereka pulang ke rumah dan tetap tidak bisa tidur selama tiga atau empat hari… namun sebenarnya mereka sendiri tidur dengan tengkorak! Mereka berpakaian dengannya, makan dengannya, melakukan semuanya dengannya….namun mereka takut kepadanya.

Ini menunjukkan sudah sebegitu jauh orang-orang dari diri mereka sendiri. Begitu memprihatinkan! Mereka selalu melihat ke luar, pada pohon-pohon, pada orang-orang lain, pada objek-objek eksternal, mengatakan “yang satu ini besar”, “yang itu kecil”, “yang itu pendek”, “yang itu panjang”. Mereka begitu sibuk memperhatikan benda-benda yang tidak pernah mereka lihat sendiri sebelumnya. Secara jujur, orang-orang sungguh memprihatinkan. Mereka tidak mempunyai tempat berlindung.

Pada upacara pentahbisan, yang ditahbiskan harus mempelajari lima objek dasar meditasi: “kesa”, rambut kepala; “loma”, bulu roma tubuh; “nakha”, kuku; “danta”, gigi; “taco”, kulit. Beberapa orang mahasiswa dan kaum terpelajar tertawa cekikikan ketika mendengar bagian dari upacara pentahbisan ini… “Apa sih yang coba diajarkan oleh Ajahn kepada kita di sini? Mengajarkan kita tentang rambut ketika kita sudah memilikinya bertahun-tahun. Dia tidak perlu mengajari kita tentang ini, kita sudah mengetahuinya. Kenapa harus repot-repot mengajari kita sesuatu yang sudah kita ketahui?”. Orang-orang yang bodoh adalah seperti ini, mereka mengira mereka sudah dapat melihat rambut mereka. Saya mengatakan kepada mereka, ketika saya menyuruh untuk “melihat rambut”, maksud saya adalah untuk melihatnya sebagaimana adanya. Melihat bulu roma tubuh sebagaimana adanya, memandang kuku, gigi dan kulit sebagaimana adanya. Itulah yang saya sebut “melihat” – bukan melihat dengan cara yang dangkal, tetapi melihat sesuai dengan kebenaran. Kita tidak akan terbenam dalam benda-benda, bila kita dapat melihat benda-benda sebagaimana mereka adanya. Rambut, kuku, gigi dan kulit… Apakah sebenarnya mereka itu? Apakah mereka cantik? Apakah mereka bersih? Apakah mereka memiliki substansi yang nyata? Apakah mereka stabil? Tidak… mereka itu tidak ada apa-apanya. Mereka tidak cantik, tapi kitalah yang membayangkan mereka cantik. Mereka tidak memiliki substansi, tapi kitalah yang membayangkan mereka seolah-olah memiliki substansi.

Rambut, kuku, gigi, kulit… orang benar-benar terpaku pada hal-hal ini. Sang Buddha menetapkan ini sebagai objek dasar untuk meditasi, beliau mengajarkan kita untuk mengetahui hal-hal ini. Mereka itu fana, tidak sempurna dan tidak mempunyai pemilik; mereka bukanlah “saya” atau “mereka”. Kita lahir dengan diikuti dan dibohongi oleh hal-hal ini, tapi memang benar mereka itu kotor. Anggaplah kita tidak mandi selama seminggu, sanggupkah kita untuk berdekatan satu sama lain ? Kita akan menjadi sangat bau. Ketika orang berkeringat banyak, misalnya ketika banyak orang bekerja keras bersama-sama, baunya minta ampun. Kita pulang ke rumah dan membasuh diri kita dengan sabun dan air dan baunya hilang seketika, wangi dari sabun menggantikannya. Menggosokkan sabun ke tubuh bisa saja membuatnya seolah-olah wangi, tapi sebenarnya bau busuk dari tubuh itu tetap di sana, hanya untuk sementara saja ditutupi. Ketika wangi sabun hilang, bau badan akan kembali lagi.

Sekarang, kita cenderung berpikir bahwa tubuh kita ini indah, penuh kenikmatan, tahan lama dan kuat. Kita cenderung berpikir bahwa kita tidak akan pernah tua, sakit atau mati. Kita dirayu dan ditipu oleh tubuh kita, dan kita begitu mengacuhkan tempat perlindungan yang sebenarnya di dalam diri kita sendiri. Tempat berlindung yang sebenarnya adalah batin kita. Batin adalah tempat perlindungan kita yang sejati. Ruangan ini bisa saja cukup besar tetapi ia tidak bisa menjadi tempat perlindungan yang sejati. Burung merpati berlindung di sini, tokek berlindung di sini, kadal pun berlindung di sini…. Kita boleh berpikir bahwa ruangan ini milik kita, tapi sebenarnya bukan. Kita tinggal di sini bersama-sama dengan semua yang lain. Ini hanya tempat perlindungan sementara, tak lama lagi kita harus meninggalkannya. Orang-orang menganggap tempat ini sebagai tempat untuk berlindung.

Jadi, Sang Buddha mengajarkan untuk menemukan tempat perlindungan kalian. Itu artinya untuk menemukan batin kalian yang sebenarnya. Batin ini sangatlah penting. Orang-orang jarang melihat pada hal-hal yang penting, mereka menghabiskan kebanyakan waktu mereka untuk memperhatikan hal-hal yang tidak penting. Sebagai contoh, ketika mereka membersihkan rumah, mereka begitu berkonsentrasi membersihkan rumah, mencuci piring dan seterusnya, tapi mereka gagal memperhatikan batin mereka sendiri. Batin mereka mungkin sudah busuk, mereka mungkin merasa marah, mencuci piring dengan wajah cemberut. Ketika batin mereka tidak begitu bersih, mereka gagal memperhatikannya. Inilah yang saya sebut “mengambil tempat perlindungan yang sementara”. Mereka memperindah rumah dan tempat tinggal, tapi mereka tidak berpikir untuk memperindah batin mereka. Mereka tidak mengkaji penderitaan. Batin ini adalah sesuatu yang penting. Sang Buddha mengajarkan untuk menemukan tempat perlindungan di dalam batin kalian sendiri: Atta hi attano natho – “Jadikanlah dirimu sebagai tempat berlindung bagi dirimu sendiri”. Siapa lagi yang bisa menjadi tempat perlindungan bagi kalian? Tempat perlindungan yang sejati adalah batin, tidak ada yang lain. Kalian bisa saja mencoba untuk bergantung kepada hal-hal lain, tapi mereka semua bukanlah hal yang pasti. Kalian baru dapat benar-benar bergantung pada yang lain, hanya jika kalian sudah menemukan tempat perlindungan di dalam diri kalian sendiri. Kalian harus memiliki tempat perlindungan sendiri terlebih dahulu sebelum kalian dapat bergantung pada yang lainnya, apakah itu seorang guru, keluarga, teman-teman ataupun kerabat.

Jadi, kalian semuanya, baik umat awam maupun yang sudah meninggalkan rumah, yang telah berkunjung hari ini, tolong pertimbangkan ajaran ini. Tanyakanlah diri kalian sendiri, “Siapakah saya? Mengapa saya ada di sini?” Tanyalah diri kalian sendiri, “Mengapa saya dilahirkan?” Beberapa orang tidak mengetahuinya. Mereka menginginkan kebahagiaan, tetapi penderitaan tak pernah berhenti. Kaya atau miskin, muda atau tua, mereka sama-sama menderita. Semuanya adalah penderitaan. Dan mengapa? Karena mereka tidak memiliki kebijaksanaan. Yang miskin tidak bahagia karena mereka tak berkecukupan, dan yang kaya tidak bahagia karena terlalu banyak yang harus mereka jaga.

Di masa lalu, sebagai seorang samanera muda, saya memberikan khotbah Dhamma. Saya berbicara tentang kebahagiaan karena memiliki kekayaan dan harta benda, memiliki pembantu-pembantu dan seterusnya. Seratus orang pembantu pria, seratus orang pembantu wanita, seratus ekor gajah, seratus ekor sapi, seratus ekor kerbau… seratus dari semuanya! Umat awam sungguh mendambakannya. Tetapi bisakah kalian bayangkan untuk menjaga seratus ekor kerbau? Atau seratus ekor sapi, seratus orang pembantu pria dan wanita… dapatkah kalian bayangkan kewajiban untuk menjaga semuanya itu? Apakah itu menyenangkan? Orang-orang tidak mempertimbangkan dari sisi ini. Mereka bernafsu untuk memiliki… memiliki sapi, kerbau, pembantu… ratusan dari mereka. Tetapi saya katakan lima puluh ekor kerbau saja sudah terlalu banyak. Hanya mengikat tali untuk hewan-hewan liar itu saja sudah terlalu banyak! Tetapi orang tidak mempertimbangkan hal ini, mereka hanya memikirkan kenikmatan untuk memiliki. Mereka tak mempertimbangkan kesulitan yang akan timbul.

Jika kita tidak mempunyai kebijaksanaan, semua yang ada di sekeliling kita akan menjadi sumber penderitaan. Jika kita bijaksana, maka hal-hal ini akan menuntun kita untuk bebas dari penderitaan. Mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran… Mata tidak sepenuhnya benda yang baik, kalian tahu. Jika suasana hati kalian sedang tidak bagus, hanya dengan melihat orang lain saja akan membuat kalian marah dan mengakibatkan kalian tidak bisa tidur. Atau kalian bisa jatuh cinta pada orang lain. Cinta itu juga penderitaan, jika kalian tak mendapatkan apa yang kalian inginkan. Cinta dan benci dua-duanya merupakan penderitaan, disebabkan karena adanya nafsu. Keinginan adalah penderitaan, ketidakinginan adalah penderitaan. Keinginan untuk memiliki sesuatu… bahkan jikalau kalian mendapatkannya, tetap merupakan penderitaan karena kalian takut akan kehilangannya. Hanya ada penderitaan. Bagaimana kalian akan hidup dengan semua itu? Kalian mungkin memiliki rumah yang besar dan mewah, tapi batin kalian tidak bagus, ia tidak pernah benar-benar bekerja seperti yang kalian harapkan.

Oleh sebab itu, kalian semua seharusnya memperhatikan diri kalian sendiri. Mengapa kita dilahirkan? Apakah kita benar-benar sudah mencapai sesuatu dalam hidup ini? Di pedesaan di sini, orang-orang mulai menanam padi sejak masih kanak-kanak. Ketika mereka mencapai usia tujuh belas atau delapan belas, mereka cepat-cepat menikah, khawatir kalau-kalau mereka tidak memiliki cukup waktu untuk memperbaiki nasib mereka. Mereka mulai bekerja sejak usia muda, mengira mereka akan menjadi kaya dengan cara itu. Mereka menanam padi sampai mereka berusia tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Saya tanya mereka, “Sejak dari lahir, anda sudah bekerja. Sekarang, waktunya hampir tiba untuk pergi, apa yang akan anda bawa pergi bersama anda?” Mereka tidak tahu apa yang harus diucapkan. Satu-satunya yang bisa mereka katakan adalah, “Pukullah saya!” Kita mempunyai sebuah peribahasa untuk yang satu ini, “Jangan menunggu sambil memunguti biji berry sepanjang jalan… sebelum anda menyadarinya, malam telah tiba.” Hanya karena ini “Pukullah saya!” Mereka tidak di sini ataupun di sana, puas hanya dengan sebuah “pukullah saya” … duduk di antara cabang-cabang dari pohon berry, sambil menelan biji berry… “Pukullah saya, pukullah saya…”

Ketika kalian masih muda, kalian berpikir bahwa menjadi seorang single tidaklah begitu bagus, kalian merasa agak kesepian. Jadi kalian mencari pasangan untuk hidup bersama. Bersama-sama berdua dan selanjutnya, timbullah perselisihan! Hidup sendiri terlalu sepi, tapi tinggal dengan yang lain menyebabkan perselisihan.

Ketika anak-anak masih kecil, para orang tua berpikir, “Ketika mereka sudah lebih besar, kita akan lebih baik dari sekarang.” Mereka membesarkan anak-anak mereka, tiga, empat, atau lima orang, sambil berpikir bahwa bila anak-anak sudah besar, beban mereka akan menjadi lebih ringan. Tetapi ketika anak-anak tumbuh besar, mereka malah semakin memberatkan. Seperti dua potong kayu, satu besar dan satu lagi kecil. Kalian membuang yang kecil dan mengambil yang lebih besar, mengira yang satu ini lebih ringan, tapi tentu saja tidak. Ketika anak-anak masih kecil, mereka tidak banyak mengganggu kalian, hanya semangkuk nasi dan pisang pada saat itu. Ketika mereka tumbuh besar, mereka menginginkan sepeda motor atau mobil! Begitulah, kalian menyayangi anak-anak kalian, kalian tak bisa menolak. Jadi kalian mencoba memberikan apa yang mereka inginkan. Masalah… Kadang-kadang para orangtua sampai berdebat tentang hal ini… Jangan pergi dan membelikannya mobil, kita belum punya uang yang cukup! Tetapi ketika kalian menyayangi anak-anak kalian, kalian terpaksa meminjam uang dari suatu tempat. Atau barangkali si orangtua bahkan harus pergi dengan tangan kosong untuk mendapatkan apa yang diinginkan anak-anak mereka. Lalu ada lagi yang namanya pendidikan. Ketika mereka sudah menyelesaikan pendidikan mereka, kita akan baik-baik saja. Tak akan ada akhirnya dalam menuntut ilmu! Apa yang akan mereka selesaikan? Hanya di dalam ilmu pengetahuan dari agama Buddha saja terdapat titik penyelesaian, ilmu-ilmu pengetahuan yang lain hanya berputar-putar dalam lingkaran. Pada akhirnya, benar-benar sakit kepala. Jika ada sebuah rumah dengan empat atau lima anak di dalamnya, orangtua akan bertengkar terus setiap hari.

Penderitaan yang sedang menunggu di masa depan, kita gagal melihatnya, kita mengira ia tidak akan pernah terjadi. Ketika ia terjadi, baru kita menyadarinya. Penderitaan jenis ini, penderitaan yang tak terpisahkan di dalam tubuh kita, sangat sulit untuk diantisipasi. Ketika saya masih seorang anak kecil penggembala kerbau, saya akan mengambil kapur dan menggosokkannya ke gigi saya untuk membuatnya menjadi putih. Saya akan pulang ke rumah dan berkaca dan melihat mereka sungguh indah dan putih… Saya sedang ditipu oleh gigi-gigi saya sendiri, itu saja. Ketika saya mencapai usia lima puluh atau enam puluh, gigi-gigi saya mulai rontok. Ketika gigi mulai lepas, ia sangat menyakitkan, ketika kalian makan, rasanya seperti ditendang di mulut. Ia benar-benar menyakitkan. Saya sudah pernah mengalaminya sekali. Jadi saya meminta dokter gigi untuk mencabut semuanya. Kini, saya memakai gigi palsu. Gigi asli saya begitu merepotkan sehingga saya harus mencabut semuanya, enam belas buah sekaligus. Si dokter gigi tersebut enggan mencabut ke enam belas gigi sekaligus, tapi saya bilang kepadanya, “Cabut saja semuanya, saya yang akan menanggung akibatnya.” Jadi dia pun mencabut semuanya sekaligus. Beberapa buah ada yang masih bagus, paling tidak ada lima. Cabut semuanya. Tapi keadaannya cukup kritis. Setelah mencabut semuanya, saya tidak dapat makan apapun selama dua atau tiga hari.

Sebelumnya, sebagai seorang anak kecil penggembala kerbau, saya biasanya berpikir bahwa menggosok-gosok gigi sampai kilat adalah tindakan yang bagus. Saya menyayangi gigi saya, saya berpikir mereka adalah benda-benda yang bagus. Tapi pada akhirnya mereka harus pergi. Sakitnya hampir membunuh saya. Saya menderita sakit gigi selama berbulan-bulan, bertahun-tahun. Kadang-kadang gusi saya juga bengkak.

Beberapa dari kalian mungkin memiliki kesempatan untuk mengalami sendiri hal ini suatu hari nanti. Kalau gigi kalian masih bagus dan kalian menggosoknya setiap hari untuk membuatnya tetap indah dan putih… berhati-hatilah! Mereka akan mulai bermain-main dengan kalian selanjutnya.

Sekarang, saya hanya memberitahukan kalian tentang hal-hal ini… penderitaan yang timbul dari dalam, yang muncul dari dalam tubuh kita sendiri. Tidak ada apa pun dalam tubuh yang bisa kalian jadikan pegangan. Dia tidak begitu buruk ketika kalian masih muda, tapi ketika kalian mulai beranjak tua, semuanya mulai rusak. Semuanya mulai tercerai berai. Kondisi ini berjalan sesuai sifat alamiah mereka. Apakah kita menertawai ataupun menangisi mereka, mereka tetap akan melalui jalan mereka. Tak ada perbedaan bagaimana cara kita hidup atau mati, tidak ada bedanya bagi mereka. Dan tidak ada ilmu pengetahuan ataupun sains yang mampu mencegah jalur alamiah dari semua benda ini. Kalian mungkin menemui dokter gigi untuk merawat gigi kalian, tapi bahkan jikalau dia mampu mengobatinya, mereka selanjutnya akan tetap pergi menurut jalur alamiah mereka. Selanjutnya bahkan si dokter gigi sendiri akan mendapatkan masalah yang sama. Semuanya akan hancur tercerai berai.

Inilah hal-hal yang seharusnya kita renungkan selagi kita masih mempunyai tenaga, kita seharusnya berlatih selagi kita masih muda. Jika kalian ingin melakukan kebajikan, maka lakukanlah segera, jangan tunggu sampai tua. Kebanyakan orang hanya menunggu sampai mereka tua sebelum akhirnya mereka pergi ke vihara dan mencoba mempraktekkan Dhamma. Wanita dan pria mengatakan hal yang sama… “Tunggu sampai saya tua dulu.” Saya tidak tahu mengapa mereka berkata seperti itu, apakah orang yang tua memiliki tenaga yang lebih besar? Biarkan mereka mencoba berlomba lari dengan orang yang muda dan lihatlah perbedaannya. Mengapa mereka membiarkannya sampai mereka tua? Seolah-olah mereka tidak akan pernah mati. Ketika mereka mencapai usia lima puluh atau enam puluh tahun atau lebih… “Hai, Nenek! Mari kita pergi ke vihara!” “Kamu saja yang pergi, telinga saya tidak begitu bagus lagi.” Kalian lihat apa yang saya maksud? Ketika telinganya masih bagus apa yang dia dengarkan? “Pukullah saya!”… hanya tergila-gila dengan biji berry. Pada akhirnya ketika pendengarannya menghilang, dia baru pergi ke vihara. Sungguh tidak ada harapan. Dia mendengarkan khotbah tapi dia tidak memahami apa yang dibicarakan. Orang-orang menunggu sampai mereka tidak berguna lagi sebelum akhirnya mereka berpikir untuk mempraktekkan Dhamma.

Pembicaraan hari ini mungkin berguna bagi anda-anda yang bisa memahaminya. Ini adalah hal-hal yang seharusnya mulai kalian perhatikan, mereka adalah warisan kita. Mereka akan setahap demi setahap semakin berat dan semakin berat, sebuah beban yang harus kita tanggung. Di masa lalu kaki-kaki saya begitu kuat, saya dapat berlari. Kini, hanya berjalan berkeliling saja sudah terasa berat. Sebelumnya, kaki-kaki ini menopang saya. Sekarang, saya lah yang harus membawa mereka. Ketika saya masih seorang anak kecil, saya melihat orang-orang tua bangkit dari tempat duduk mereka… “Oh!” Bangkit dari duduk, mereka mengerang, “Oh!” Selalu saja ada ini “Oh!” Tetapi mereka tidak mengetahui apa yang menyebabkan mereka mengerang seperti itu.

Bahkan ketika sudah sampai pada tahapan ini, orang-orang tidak juga melihat racun dari tubuh ini. Kalian tidak pernah tahu kapan kalian akan berpisah darinya. Apa yang menyebabkan semua rasa sakit ini hanyalah suatu kondisi yang berjalan sesuai jalur alamiahnya. Orang menyebutnya arthritis, rematik, penyakit tulang dan seterusnya, dokter memberikan resep obat, tapi itu tidak pernah menyembuhkannya secara total. Pada akhirnya, ia akan tercerai berai, bahkan si dokter sendiri! Ini adalah kondisi yang berjalan sesuai dengan jalur alamiahnya. Ini adalah jalan mereka, sifat alamiah mereka.

Sekarang, coba lihatlah ini. Jika kalian memperhatikannya sedari awal, akan lebih baik bagi kalian, seperti melihat seekor ular berbisa di jalan yang akan kalian lalui. Jika kalian melihatnya di sana, kalian bisa menghindarinya dan tidak terkena gigitannya. Jika kalian tidak melihatnya, kalian akan terus berjalan dan menginjaknya. Dan kemudian ia akan menggigit.

Jika penderitaan muncul, orang tidak tahu apa yang akan dilakukan. Ke mana untuk mengobatinya? Mereka ingin menghindari penderitaan, mereka ingin bebas darinya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana mengobatinya ketika ia muncul. Dan mereka terus-menerus hidup seperti ini sampai mereka tua… dan sakit… dan mati….

Di zaman dahulu, dikatakan bahwa jika seseorang sudah hampir mati karena penyakit parah, orang yang berada di dekatnya seharusnya membisikkan “Bud-dho, Bud-dho” di telinga mereka. Apa yang akan mereka lakukan dengan Buddho? Kebaikan apa dari Buddho bagi mereka yang sudah hampir berada di atas kayu pembakaran jenazah? Mengapa mereka tidak mempelajari Buddho selagi mereka muda dan sehat? Kini, dengan nafas yang tidak teratur, kalian ke atas dan berkata, “Ibu… Buddho, Buddho!” Mengapa membuang-buang waktu kalian? Kalian hanya akan membingungkan ibu kalian, biarkanlah dia pergi dengan damai.

Orang-orang tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalah-masalah di dalam batin mereka, mereka tidak memiliki tempat berlindung. Mereka mudah marah dan memiliki banyak sekali nafsu keinginan. Mengapa demikian? Karena mereka tidak memiliki tempat berlindung.

Ketika orang baru saja menikah, mereka dapat hidup bersama-sama dengan baik, tetapi setelah berusia lima puluh tahun atau lebih, mereka tidak dapat lagi mengerti satu sama lain. Apapun yang dikatakan istri, sang suami menganggapnya tidak dapat ditolerir. Apapun yang dikatakan suami, sang istri tidak akan mau mendengarkannya. Mereka saling mengabaikan.

Sekarang, saya hanya bisa berbicara karena saya tidak pernah berkeluarga sebelumnya. Mengapa saya tidak pernah berkeluarga? Hanya memperhatikan kata ini “rumah tangga/household” (note: Ada sebuah permainan kata-kata dalam bahasa Thai di sini yang berdasarkan pada kata yang artinya keluarga – krorp krua – yang secara harfiah berarti “bingkai dapur” atau “lingkaran penggorengan.” Dalam terjemahan bahasa Inggris, kami memutuskan untuk mengambil kata Inggris yang cocok, daripada mencoba menerjemahkan secara harfiah dari bahasa Thai). Saya memahami apa itu sesungguhnya. Apa yang dimaksud “rumah tangga/household” itu? Ini adalah sebuah “hold/pegang/tahan”: jika seseorang mengambil tali dan mengikat kita ketika kita sedang duduk di sini, bagaimanakah rasanya? Itu disebut “dipegang/ditahan.” Bagaimana pun rasanya, “dipegang/ditahan” adalah seperti itu. Ada sebuah lingkaran pembatas. Yang pria hidup di dalam lingkaran pembatasnya sendiri, dan yang wanita juga hidup di dalam lingkaran pembatasnya sendiri pula.

Ketika saya membaca kata ini “rumah tangga/household”… ini adalah sesuatu yang berat. Kata ini bukanlah hal yang sepele, ia benar-benar seorang pembunuh. Kata “hold/pegang” adalah suatu lambang dari penderitaan. Kalian tidak dapat ke mana-mana, kalian harus tinggal di dalam lingkaran pembatas.

Sekarang, kita tiba pada kata “house/rumah.” Ini artinya “sesuatu yang mengganggu.” Pernahkah kalian memasak cabai? Seisi rumah tercekik dan bersin-bersin. Kata ini “rumah tangga/household” menimbulkan kebingungan, ia sungguh tidak layak untuk itu. Oleh karena kata inilah, saya bisa ditahbiskan dan tidak melepaskan jubah. “Rumah tangga/household” sungguh menakutkan. Kalian terhenti dan tidak dapat ke mana-mana. Masalah dengan anak-anak, dengan uang dan semua yang lain. Tetapi ke mana kalian bisa pergi? Kalian sudah terikat. Ada anak laki-laki dan perempuan, perdebatan-perdebatan yang berlebihan sampai pada hari kematian kalian, dan tidak ada tempat lain untuk pergi, tidak peduli betapa beratnya penderitaan. Air mata menetes dan terus menetes. Air mata ini tidak akan pernah berhenti menetes dengan “rumah tangga” ini, kalian tahu. Jika tidak ada rumah tangga, kalian mungkin dapat menghentikan tetesan air mata ini, namun tidak sebaliknya.

Pertimbangkanlah hal ini. Jika kalian belum menemukannya, kalian bisa melakukannya di kemudian hari. Beberapa orang sudah mengalaminya sampai pada tingkatan tertentu. Beberapa di antaranya sudah kehilangan akalnya… “Akankah saya menetap atau pergi?” Di Wat Pah Pong, terdapat sekitar tujuh puluh atau delapan puluh gubuk (kuti). Ketika gubuk-gubuk itu hampir penuh, saya meminta seorang bhikkhu yang mengurusnya untuk membiarkan beberapa gubuk tetap kosong, jikalau ada seseorang berdebat dengan pasangannya… Dan tentu saja, dalam waktu yang tidak lama seorang wanita akan tiba dengan tas-tasnya… “Saya sudah muak dengan dunia ini, Luang Por.” “Whoa! Jangan katakan itu. Kata-kata itu sungguh berat.” Lalu, sang suami datang dan berkata bahwa dia juga sudah muak. Setelah dua atau tiga hari di vihara, kejemuan mereka akan dunia akan segera lenyap.

Mereka bilang mereka muak, tetapi mereka hanya menipu diri sendiri. Ketika mereka masuk ke dalam kuti dan duduk sendirian dengan tenang, setelah beberapa saat pikiran-pikiran akan muncul… “Kapan ya istriku akan datang dan mengajakku untuk pulang ke rumah?” Mereka tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi. Apa yang disebut “mereka jemu akan dunia” ini? Mereka merasa sedih akan sesuatu dan berlarian datang ke vihara. Di rumah segalanya kelihatan salah… sang suami salah, sang istri juga salah… setelah berpikir dengan tenang selama tiga hari… “Hmmm, istriku memang benar, ternyata diriku lah yang bersalah.” “Suamiku benar, saya tidak seharusnya begitu bersedih hati.” Mereka bertukar tempat. Beginilah ceritanya, itulah sebabnya mengapa saya tidak menanggapi dunia ini terlalu serius. Saya sudah tahu kelebihan dan kekurangannya, itulah mengapa saya memilih hidup menjadi seorang bhikkhu.

Saya ingin mempersembahkan pembicaraan hari ini kepada kalian semua untuk dijadikan pekerjaan rumah. Apakah kalian berada di sawah atau bekerja di kota, ambillah kata-kata ini dan pertimbangkanlah… “Mengapa saya dilahirkan? Apa yang bisa saya bawa bersama saya?” Tanyakan diri kalian berulang-ulang. Jika kalian menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini pada diri sendiri, seringkali kalian akan menjadi bijaksana. Jika kalian tidak merenungkan hal-hal ini, kalian akan tetap bodoh. Mendengarkan pembicaraan hari ini, kalian akan bisa mendapatkan beberapa pemahaman, jika bukan sekarang, mungkin pada saat kalian tiba di rumah. Barangkali sore ini. Ketika kalian sedang mendengarkan pembicaraan ini, segala sesuatunya pun ditaklukkan, tapi mungkin ada yang sedang menunggu kalian di dalam mobil. Ketika kalian masuk ke mobil, ia bisa saja ikut masuk dengan kalian. Ketika kalian tiba di rumah, ia akan menjadi jelas… “Oh, itulah yang Luang Por maksudkan. Saya tidak mampu memahaminya sebelumnya.”

Saya rasa cukup sekian untuk hari ini. Jika saya berbicara terlalu lama, tubuh yang tua ini menjadi lelah.



--end--

Catatan: Ceramah ini ditujukan kepada umat awam yang berkunjung ke Wat Tham Saeng Phet (Vihara Gua Cahaya Intan), pada Masa Vassa tahun 1981, sesaat sebelum kesehatan Ajahn Chah memburuk.



Sumber: “The Teachings Of Ajahn Chah”, Sub judul: “Living Dhamma – Why Are We Here ?”
Oleh: Ven. Ajahn Chah
Diterjemahkan oleh: NN

AJARAN MANA YANG LAYAK DITERIMA ?


Berikut ini merupakan kutipan dari Kalama Sutta, dimana sang buddha menjawab pertanyaan tersebut :

Setelah mereka semua duduk, kemudian seorang berkata, 'Yang Mulia, banyak pertapa dan brahmana yang berkunjung ke Kesaputta. Mereka menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, tetapi mencaci maki, menghina, merendahkan, dan mencela ajaran orang lain. Lalu datang pula pertapa dan brahmana lain ke Kesaputta. Dan mereka ini juga menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, dan mencaci maki, menghina,merendahkan, dan mencela ajaran orang lain. Kami yang mendengar merasa ragu-ragu dan bingung, siapa diantara pertapa dan brahmana yg berbicara benar dan siapa yg berdusta.

'Benar, warga Kalama, sudah sewajarnya kamu ragu-ragu, sudah sewajarnya kamu bingung. Dalam hal yg meragukan memang akan menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, warga suku Kalama janganlah percaya begitu saja berita yg disampaikan padamu, atau karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yg didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yg tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yg dikatakan sesuai dengan logika dan kesimpulan belaka, juga apa yg kelihatannya cocok dengan pandanganmu, atau karena ingin menghormat seorang pertapa yg menjadi gurumu'.

Tetapi, warga Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, 'maka sudah seharusnya kamu menolak hal-hal tersebut.

Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'Hal ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh para bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,' maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.

MENULIS DIATAS PASIR


Kisah tentang 2 orang sahabat karib yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di tengah perjalanan, mereka bertengkar dan salah seorang tanpa dapat menahan diri menampar temannya. Orang yang kena tampar merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir : "Hari ini, sahabat terbaikku menampar pipiku." Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis. Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba mandi untuk menyejukkan galaunya. Namun, ternyata oasis tersebut cukup dalam sehingga ia tenggelam, dan diselamatkan oleh sahabatnya. Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah batu :"Hari ini, sahabat terbaikku menyelamatkan nyawaku." Si penolong yang pernah menampar sahabatnya tersebut bertanya, "Kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang kamu menulis di batu?" Temannya sambil tersenyum menjawab,"ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya di atas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila diantara sahabat terjadi sesuatu kebajikan sekecil apa pun, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tetap terkenang tidak hilang tertiup waktu. Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang yang berbeda. Oleh karenanya cobalah untuk saling memaafkan dan lupakan masalah lalu. Marilah kita belajar menulis di atas pasir.

PERBEDAAN PERSEPSI

Ada seorang ayah yang menjelang ajalnya di hadapan sang Istri berpesan DUA
hal kepada 2 anak laki-lakinya :


- Pertama : Jangan pernah menagih hutang kepada orang yg berhutang kepadamu.
- Kedua : Jika pergi ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar
matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah
ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi
semakin miskin.

Pada suatu hari sang Ibu menanyakan hal itu kepada mereka.

Jawab anak yang bungsu :

"Ini karena saya mengikuti pesan ayah.. Aya h berpesan bahwa saya tidak boleh
menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, akibatnya modalku susut
karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak
boleh menagih".

"Juga Aya h berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko
dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik
becak atau andong, padahal sebetulnya saya bisa berjalan kaki saja, tetapi
karena pesan ayah itu, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak".

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang Ibu pun bertanya hal yang
sama.

Jawab anak sulung :

"Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena Aya h berpesan
supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya
tidak pernah menghutangkan sehingga dengan demikian modal
tidak susut".

"Juga Aya h berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari
toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum
matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam.
Karenanya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko
yang lain tutup."

"Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris,
karena mempunyai jam kerja lebih lama".


MORAL CERITA :
Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat bias ditanggapi dengan
presepsi yang berbeda.

Jika kita melihat dengan positive attitude maka segala kesulitan sebenarnya
adalah sebuah perjalanan membuat kita sukses tetapi kita bisa juga terhanyut
dengan adanya kesulitan karena rutinitas kita... pilihan ada di tangan anda.

'Berusahalah melakukan hal biasa dengan cara yang luar biasa'

Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan

Oleh Yang Mulia Bhikkhu Khantidharo


Secara umum perkawinan merupakan masalah yang dihadapi oleh setiap orang, baik anak muda maupun orang tua. Bagi anak muda merupakan teka-teki antara harapan akan kebahagiaan maupun kecemasan atau keragu-raguan yang harus dihadapi pada waktu-waktu mendatang, dalam kehidupan berumah tangga. Sementara itu banyak orang tua yang gelisah karena anaknya sudah cukup umur, tetapi belum juga ada tanda tanda menemukan jodohnya.

Sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing. Sang Buddha tidak mewajibkan untuk setiap orang harus mencari pasangan hidupnya. Demikian pula Sang Buddha tidak melarang bagi mereka yang ingin hidup membujang, baik pria maupun wanita. Dengan kata lain kewajiban untuk membangun rumah tangga sebagai suami/istri bukan merupakan kewajiban beragama yang harus dipatuhi. Mereka yang hidup membujang tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha. Tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan batiniah, baik didunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya, sampai tercapainya Nibbana. Oleh karena itu perkawinan menurut agama Buddha tidak dianggap sebagia sesuatu yang suci ataupun tidak suci.

Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut: “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

Sesuai dengan hukum alam, bahwa tak ada sesuatu yang kekal. Maka dengan demikian tidak ada perkawinan yang bersifat kekal. Oleh karena itu yang dimaksud dengan “kekal” dalam undang-undang tersebut adalah merupakan cita-cita dan harapan yang harus diartikan secara moral. Dalam kenyataannya dapat ditanyakan kepada masing-masing keluarga (Suami/istri), apakah mereka itu sudah bisa mencapai kebahagian dimaksud? Apalagi tentang kekal, tentu tidak akan terwujud karena bertentangan dengan hukum alam itu sendiri. Oleh karena itu kata “kekal” disini berarti kekal yang terbatas, yaitu sampai salah seorang suami/istri meninggal dan tak terjadi perceraian sebelumnya.

Untuk lebih luwes dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka pengertian perkawinan akan lebih jelas dikatakan:

“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami – istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.”

Sebagai umat Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, yaitu bila suami – istri itu terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha (keyakinan), Sila (kesusilaan), Caga (kemurahan hati), dan Panna (kebijaksanaan) (Anguttara N. II,62)

Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami – istri akan dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana kehidupan yang penuh harmoni.

Dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami – istri yang memiliki pandangan hidup yang sama, tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain kita sangat sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni seperti yang dicita-citakan oleh semua orang.

Sehubungan dengan ini maka Sang Buddha menyebutkan beberapa jenis pasangan suami istri yang memiliki sifat sifat:

Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan wanita jahat (raksasi/chava), ini merupakan pasangan yang brengsek.

Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan seorang wanita yang baik (devi), ini merupakan pasangan yang tak seimbang.

Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita jahat (raksasa/chava), ini merupakan pasangan yang tak seimbang.

Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita baik (devi). Pasangan pria yang baik dengan wanita yang baik atau dikatakan pasangan deva dan devi ini adalah pasangan yang paling harmoni. Pasangan inilah yang dipuji oleh Sang Buddha. (Anuggtara N.II,57)

Sujata adalah menantu Anathapindika yang terkenal sebagai seorang istri yang bengis, kejam dan tak kenal sopan terhadap suami maupun mertuanya. Sewaktu Sang Buddha sedang menguraikan ajarannya setelah menerima dana makan siang di rumah Anathapindika. Sujata marah-marah dan memaki-maki dengan suara yang keras dan kasar kepada pembantunya, sehingga Sang Buddha menghentikan ceramahnya dan bertanya:

“Siapa itu yang marah-marah?”

dan dijawab oleh Anathapindika bahwa dia adalah Sujata, menantunya yang sedang memarahi pembantunya.

Sang Buddha kemudian menyuruh memanggil Sujata untuk menghadap. Ketika Sujata sudah menghadap, maka Sang Buddha berbicara kepada Sujata, bahwa ada 7 (tujuh) jenis istri:

Istri Pembunuh (Vadha-kasama), yaitu seorang istri yang tak kenal belas kasih, batinnya kotor, membenci suami, menginginkan pria lain, bahkan berusaha untuk membunuh suaminya.

Istri Perampok (Corisama), yaitu seorang istri yang walaupun seluruh hasil pendapatan suaminya sudah diserahkan pada istrinya, namun istrinya selalu menyembunyikan harta itu untuk kepentingan dirinya sendiri.

Istri Kejam (Ayyasama), yaitu seorang istri yang malas, kaku, rakus, bengis, bicara kasar, suka bergunjing, menguasai suami, boros, memperbudak suami, menjelek-jelekkan suami.

Istri Ibu (Matasama), yaitu seorang istri yang selalu memperhatikan suaminya, bagaikan seorang ibu yang menyayangi putra tunggalnya, menjaga dengan baik baik kekayaan keluarga yang diperoleh suaminya.

Istri Saudara (Bhaginisama), yaitu seorang istri yang memperlakukan suaminya seperti adik terhadap kakak, melayani suaminya dengan sopan dan berbakti dengan penuh lemah lembut.

Istri Sahabat (Sakhisama), yaitu seorang istri yang selalu bersikap riang terhadap suaminya, menyenangi kehadiran suaminya. Bagaikan bertemu sahabat yang telah lama tidak berjumpa. Istri yang berkepribadian anggun dan berbudi luhur, tulus mengabdi dan dapat mengarahkan suaminya.

Istri Pembantu (Dasisama), yaitu seorang istri yang bersifat tenang, bebas dari kemarahan. Dengan hati yang tenang bersedia menanggung derita bersama suaminya. Tanpa rasa dendam dan selalu patuh terhadap suaminya. Mendengarkan kata-kata suami dengan rendah hati.

Istri yang termasuk 1, 2 dan 3 (pembunuh, pencuri, dan kejam), setelah meninggal akan terlahir kembali di alam yang penuh kesengsaraan. Tetapi istri yang termasuk 4, 5, 6, dan 7 (ibu, saudara, sahabat dan pembantu), setelah meninggal akan terlahir kembali di alam yang penuh kebahagiaan.

Inilah tujuh jenis istri itu. Seorang laki-laki yang menikah pasti akan mendapatkan salah satu dari tujuh jenis istri ini. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Sujata,

“Dan kamu Sujata, termasuk jenis istri yang mana dirimu?” Dengan batin yang tergugah Sujata menjawab bahwa mulai saat itu ia akan berusaha untuk menjadi pembantu bagi suaminya. Sejak saat itu, Sujata berubah menjadi istri yang baik. (Angguttara IV, 91 dst.J.269).

Sebaliknya seorang suamipun tentu memiliki sifat-sifat salah satu dari 7 jenis istri seperti tersebut diatas. Pasangan suami istri akan merupakan rumah tangga yang brengsek, jika memiliki sifat 1, 2 dan 3 seperti tersebut diatas. Tetapi Pasangan suami istri akan menjadi harmoni kalau terdapat pasangan yang memiliki sifat-sifat seperti tersebut dalam 4, 5, 6 atau 7 di atas. Selanjutnya dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menguraikan bagaimana kewajiban suami-istri agar bisa menjalin hubungan rumah tangga yang harmoni.

Seorang suami harus memperlakukan istrinya:
»

Menghormatinya
»

Ramah tamah dan tidak membenci
»

Setia
»

Menyerahkan kekuasan rumah tangga kepada istrinya.
»

Memberikan hadiah/ perhiasan.

Seorang istri harus memperlakukan suaminya:
»

Menjalankan kewajiban dengan baik dan bertanggung jawab
»

Ramah tamah terhadap sanak keluarga dari kedua belah pihak
»

Setia
»

Melindungi penghasilan suaminya (tidak boros)
»

Pandai dan rajin melaksanakan tugasnya.

Perkawinan merupakan paduan keluarga antara dua pihak, yaitu pihak suami dan pihak istri. Oleh karena itu perkawinan yang harmoni akan tercipta jika masing-masing pihak (pihak suami maupun pihak istri) mau menerima dan memperlakukan kehadiran mertua selaku orang tuanya sendiri, serta memperlakukan saudara-saudara dari pihak suami maupun istri (saudara ipar), sebagai saudara kandungnya sendiri. Demikian pula terhadap saudara-saudara serta teman-teman yang lainnya dari masing-masing pihak. Sebaliknya pihak mertua harus mau menerima kehadiran menantu sebagai anak kandungnya sendiri, dan demikian pula bagi saudara-saudara iparnya. Dalam dunia rumah tangga tidak sedikit telah terjadi perceraian dengan mengorbankan anak-anak, hanya karena ikut campurnya atau karena adanya dominasi mertua atau saudara-saudara ipar dalam rumah tangga. Oleh karena itu untuk membangun rumah tangga yang harmoni diperlukan adanya kerelaan berkorban dan saling pengertian antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Pada kenyataannya memang sangat sulit kita menjumpai rumah tangga yang harmoni. Jika dari 10 rumah tangga itu kita bisa jumpai 2 rumah tangga / keluarga yang bisa hidup harmoni, ini merupakan hal yang sangat baik. Tetapi jika dari sepuluh rumah tangga itu ternyata hidupnya kurang harmoni (kalau tidak boleh dikatakan brengsek), maka hal ini merupakan hal yang biasa.

Sekalipun demikian bagi kawula muda tidak perlu takut untuk berumah tangga, karena jodoh itu sebenanya sesuai dengan karma kita masing masing. Pasangan suami istri yang tampaknya tidak sesuai, penuh dengan hari-hari cekcok, namun nyatanya anaknya terus lahir. Dalam hal ini kita bisa banyak memperhatikan adanya pasangan suami-istri yang tidak seimbang, namun rumah tangga mereka bisa berjalan lancar, dan banyak yang bisa mendidik anak-anak mereka dengan sukses. Yang dikatakan pasangan atau jodoh itu memang tidak harus sama. Sepasang sepatu atau sandal tidak akan sama. Begitu pula pasangan sendok dan garpu sama sekali tidak sama. Sendok dan garpu hari-hari selalu bertarung diatas piring. Tetapi piring itu tak pernah menjadi pecah. Dan kalau sendok dan garpu itu tidak tarung diatas piring maka kita tidak bisa kenyang, karena makan kita tidak bisa tenang. Demikianlah meskipun rumah tangga itu ada yang selalu cekcok, tetapi tak perlu rumah tangga itu harus pecah (cerai). Apakah dengan demikian kita tidak bisa membangun rumah tangga yang bahagia seperti yang kita cita-citakan? Bukan demikian. Hanya untuk membangun rumah tangga yang harmoni itu tidaklah gampang. Karena kunci utamanya ialah kita harus mampu untuk menaklukkan diri kita masing-masing. Kita harus mampu menaklukkan / mengendalikan nafsu-nafsu keinginan kita masing-masing.

Harmoni dengan keluarga tidak bisa diraih dengan berdoa saja, tetapi baru bisa diraih dengan perjuangan. Usaha yang ulet, secara lahiriah maupun batiniah. Secara lahiriah bisa dicapai dengan memiliki keterampilan dan mata pencaharian yang benar serta bekerja denga rajin dan ulet untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk perjuangan batiniah dituntut adanya semangat pengendalian diri, dengan selalu menjaga kewaspadaan terhadap gerak gerik pikiran kita dengan baik. Hal ini bisa dicapai dengan rajin melatih diri dalam meditasi.

Meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah yang dikatakan meditasi benar, meditasi yang membawa berkah. Dalam hal ini meditasi vipassana bhavana merupakan satu satunya jalan paling cepat untuk bisa mengubah tingkah laku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi lebih tenang, sabar, tidak gelisah, tidak mudah tersinggung, tidak membenci, tidak emosi dalam menghadapi segala sesuatu dalam pergaulan sehari-hari, selalu waspada, pikiran terkendali, serta bijaksana dalam segala tindakan yang diambil atau dihadapinya.

Dengan meditasi yang benar kita tak akan kecil hati, tak akan takut, tak akan khawatir dalam menghadapi hari-hari mendatang. Kita tidak akan takut menghadapi peristiwa-peristiwa yang umumnya sering dipandang mengganggu terhadap kebahagiaan keluarga. Yang kita maksudkan disini ialah bagaimana kita bisa tabah dalam menghadapi datangnya usia tua, sakit dan…saat-saat yang tidak kita inginkan… yaitu datangnya kematian, bagaimanapun kita tak mungkin bisa menghindari datangnya tiga peristiwa tersebut, karena tanpa diundang dia pasti datang. Yang paling utama dalam hal ini ialah kita harus menyadari mulai sekarang, mulai saat ini juga. Kita harus mempersiapkan diri untuk menyambutnya dengan lapang dada, dengan pikiran yang penuh ketenangan dan kebahagiaan. Sehingga pada saat kita harus meninggal kita telah bebas dari ikatan harta materi maupun ikatan dengan anak, istri / suami, serta sanak saudara lainnya.

Dan jalan demikian hanya bisa dicapai melalui latihan mental secara intensif. Dalam hal ini ialah meditasi vipassana bhavana. Karena itu sangat penting bagi siapapun untuk berlatih meditasi ini. Lebih-lebih bagi pasangan muda yang bercita-cita untuk membangun rumah tangga yang harmoni, ia akan sukses jika kedua belah pihak suka dan sering melatih diri vipassana bhavana.. Meditasi ini merupakan cara satu-satunya untuk menyelami Dhamma. Dhamma tak akan dapat dilaksanakan dalam hidup sehari-hari hanya mendengarkan, diskusi, atau membaca buku-buku Dhamma, tetapi harus dilaksanakan dengan perenungan yang mendalam (meditasi).

Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha yang merupakan jalan menuju kepada keseimbangan lahiriah dan batiniah. Hanya orang yang memiliki keseimbangan lahirian dan batiniah yang akan mampu menghadapi segala tantangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga ia bisa merasakan hdiup ini penuh dengan kebahagiaan.

Perceraian

Dari sutta-sutta Sang Buddha, kami belum menemukan adanya masalah perceraian. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perceraian itu kurang sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Masalahnya menjadi timbul kalau ternyata dalam rumah tangga suami-stri tidak terdapat kecocokan sehingga mereka tidak mampu lagi mengendalikan dirinya. Sedangkan Sang Buddha selalu mengajarkan kepada kita agar kita rajin-rajin serta berusaha sekuat mungkin untuk melatih diri agar dapat mengontrol atau mengendalikan pikiran kita, manusia yang pada umumnya masih dikuasai oleh lobha, dosa, dan moha, menjadi sangat sulit untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang muncul dalam rumah tangga.

Apakah dengan demikian agama Buddha melarang adanya perceraian?

Sebagaimana dimuka telah disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. Dengan pengertian ini maka jika memang perkawinan itu tidak mungmkin lagi dipertahankan, misalnya seorang istri yang bersuamikan seorang yang jahat (Chavo), bersifat seperti raksasa atau sebaliknya, seorang suami yang beristrikan seorang yang jahat (Chava) yang bersifat seperti raksasi, maka mungkin perceraian malah bisa merupakan jalan keluar yang lebih baik. Tetapi harus disadari bahwa akibat perceraian akan membawa dampak negatif terhadap pendidikan anak-anak yang membuthkan cinta kasih dan kasih sayang dari kedua orang tua.

Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau mengalah dan menahan diri demi keutuhan rumah tangga dan anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya dan membutuhkan perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada anak, maka perceraian bisa dilaksanakan bila tidak disertai rasa benci dan dendam satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan secara baik baik, dan dikembalikan kepada keluarganya secara baik-baik pula. Inilah yang dimaksudkan dengan penceraian yang sesuai dengan Dhamma.

Bagaimanakah seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu, apakah dia harus menceraikan istrinya terlebih dahulu? Tujuan menjadi Bhikkhu adalah untuk bisa memahami dan mempraktekkan Dhamma Vinaya dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan itu maka bagi seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu harus meninggalkan rumah tangga. Ini berarti bahwa seorang bhikkhu tidak lagi berhubungan dengan istrinya. Seorang istri yang suaminya menjadi bhikkhu tidak perlu secara formal minta surat cerai, cukuplah adanya pengertian bahwa dia harus menerima untuk pisah tempat tinggal, pisah tempat tidur dan pisah meja makan, dan yang paling pentng adalah kesadarannya untuk melepaskan suaminya dari lingkungan rumah tangganya. Sebaliknya seorang bhikkhu harus siap dengan senang hati jika istrinya minta surat cerai untuk kawin lagi.

Dengan kata lain surat kawin tidaklah penting bagi seorang istri yang suaminya menjadi bhikkhu. Lagipula surat kawin dan surat cerai itu baru berlaku pada zaman peradaban modern ini. Hidup berpisah tidak berarti harus ada surat cerai. Inilah yang dikatakan bercerai sesuai dengan Dhamma.

Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus pada perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lain. Jika pihak lain (suami/istri) tidak bisa menuruti kehendak kita, maka jalan paling aman adalah kita sendiri yang harus mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertentangan di antara kita. Bagaimanapun juga harus dipertimbangkan bahwa perceraian akan memberikan akibat yang sangat buruk bagi perkembangan pendidikan anak yang tidak dapat lepas dari tanggung jawab orang tua..

Kesimpulan
»

Hidup membujang baik laki-laki maupun wanita tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha.
»

Vipassana Bhavana merupakan satu-satunya jalan yang lebih cepat yang telah diajarkan oleh Sang Buddha untuk mengubah tingkah laku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi lebih sabar, lebih tenang, tidak gelisah, tidak emosi, selalu waspada dengan pikiran terkendali serta bijaksana.
»

Keseimbangan lahiriah dan batiniah hanya bisa dicapai dengan latihan meditasi secara intensif, sehingga kita mampu menghadapi segala tentangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga kita bisa merasakan hidup ini penuh dengan ketentraman dan kebahagiaan.
»

Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus kepada perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kepada pihak yang lain. Jika dalam hal ini pihak lain (suami/istri) tidak bisa menuruti kehendak kita, maka jalan yang paling aman adalah kita sendiri yang harus berani mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertengkaran di antara kita.


(Sumber: Buddhist Digest 34, p 49 –52. Alih bahasa Rianto)

Tujuan Berumah Tangga

Umat Buddha terdiri dari dua bagian besar yaitu mereka yang berumah tangga dan tinggal dalam masyarakat serta mereka yang tidak berumah tangga dan tinggal di vihara. Para bhikkhu adalah termasuk umat Buddha yang tidak menikah. Dalam Dhamma, pernikahan bukanlah keharusan. Pernikahan adalah pilihan. Dengan demikian, seorang umat Buddha secara bebas boleh menentukan pilihan hidup mereka masing-masing. Mereka boleh menikah ataupun tidak menikah.

Untuk mereka yang memilih jalan hidup berumah tangga yaitu menikah, maka modal utama yang harus dimiliki adalah rasa cinta kepada pasangannya. Cinta yang dimaksudkan di sini adalah kemauan seseorang untuk membahagiakan pasangannya. Ia akan selalu bertindak, berbicara dan berpikir agar pasangannya berbahagia. Cinta bukanlah menuntut agar pasangannya membahagiakan dirinya. Cinta adalah memberi. Meskipun demikian, cinta bukanlah satu-satunya modal perkawinan. Perkawinan tanpa cinta tentu sulit dipertahankan dalam waktu lama, namun, perkawinan hanya bermodalkan cinta tentu akan berat dijalani sehingga mendapatkan kebahagiaan bersama.

Selain bermodalkan cinta, kehidupan berumahtangga juga membutuhkan modal kedua yaitu cita-cita. Cita-cita atau tujuan berumah tangga hendaknya disusun sejak awal suami istri membangun kehidupan berkeluarga. Tujuan berumah tangga hendaknya menjadi kesepakatan bersama antara suami istri. Dalam Kitab Suci Agama Buddha Tipitaka bagian Anggutara Nikaya II, 65 disebutkan, paling tidak terdapat empat tujuan hidup para perumahtangga.

Tujuan hidup pertama adalah mempunyai kecukupan materi. Artinya, pasangan hidup hendaknya mampu bekerja bersama, saling membantu mewujudkan tujuan berumah tangga yaitu kecukupan materi. Dengan materi yang dianggap cukup, suami istri mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia yaitu makanan, pakaian, tempat tinggal serta sarana kesehatan. Ketika pasangan itu memiliki anak, maka kebutuhan dasar dan pendidikan anak tentunya perlu dipenuhi dengan dukungan kecukupan materi tersebut. Namun, kecukupan materi tentu bukan diukur dari jumlah materi yang telah diperoleh. Kecukupan sebenarnya adalah kondisi pikiran ketika seseorang telah mampu menerima kenyataan atas materi yang telah ia dapatkan pada saat itu. Tanpa adanya kepuasan dalam pikiran, maka kecukupan tidak akan pernah dirasakan. Ia akan selalu merasa kekurangan dan merasa hidup penuh penderitaan walau materi yang ia miliki sudah sangat berlimpah.

Sebagai tujuan kedua dalam membangun rumah tangga adalah upaya suami istri untuk mempunyai posisi atau kedudukan dalam rumah tangga maupun masyarakat. Posisi dalam rumah tangga dapat tercapai ketika suami istri mampu mengembangkan sikap saling menghormati. Hubungan suami istri bukanlah hubungan antara atasan dan bawahan. Suami istri adalah pasangan yang saling melengkapi seperti tangan kanan dan tangan kiri. Suami istri hendaknya tidak saling menjelekkan satu sama lain, apalagi di depan umum. Apabila pasangan sudah tidak bisa saling menghargai, tentu orang lain juga tidak akan menghargai mereka lagi. Dengan demikian, berawal dari kondisi suami istri yang tidak bisa saling memberikan posisi dalam keluarga, masalah ini akan melebar menjadi hilangnya posisi pasangan itu di mata masyarakat.

Apabila suami istri sudah mampu saling menghargai maka posisi dalam masyarakat pun akan menguat. Apalagi mereka juga aktif mengembangkan kebajikan melalui ucapan, perbuatan dan pikiran. Dengan demikian, kehadiran mereka selalu dinantikan oleh masyarakat. Kehadiran mereka selalu menjadi sumber kebahagiaan masyarakat. Mereka dihargai dan dihormati masyarakat. Mereka adalah mutiara di tengah masyarakat. Posisi ini jelas akan menimbulkan kebahagiaan dan kedamaian kemanapun pasangan itu bermasyarakat.

Tujuan ketiga yang perlu dimiliki pasangan suami istri yang menginginkan hidup berbahagia adalah mendapatkan kesehatan serta usia yang relatif panjang. Pasangan suami istri akan hidup sehat apabila mereka rajin melaksanakan berbagai saran ahli kesehatan. Dengan mempunyai kesehatan yang baik serta berusia panjang, suami istri akan mampu hidup lebih lama untuk saling membahagiakan, saling menjaga, saling melindungi serta saling mencintai. Adapun kesehatan yang dimaksudkan di sini tentunya bukan hanya kesehatan fisik atau badan jasmani saja, melainkan termasuk pula kesehatan batin yaitu terpenuhinya kebutuhan akan kasih sayang, perhatian, rasa dihargai dsb.

Tujuan keempat sebuah rumah tangga adalah mencapai kebahagiaan dan keharmonisan suami istri dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang selanjutnya. Diharapkan, dengan berbagai kebajikan ucapan, badan serta pikiran yang selalu dilaksanakan setiap waktu, pasangan suami istri juga akan mendapatkan kebahagiaan setelah kehidupan ini. Mereka dalam kehidupan ini bisa berbahagia dalam rumah tangga maupun hidup bermasyarakat. Mereka mampu membagikan kecukupan materi yang dimiliki demi kebahagiaan fihak lain. Mereka mampu menggunakan posisi dalam masyarakat untuk membahagiakan lingkungan yang lebih besar. Mereka juga mampu melakukan semua kebajikan itu dalam waktu yang lama karena usia mereka panjang. Maka dengan segala kebajikan yang telah dilakukan tersebut akan mengkondisikan mereka hidup berbahagia di dunia ini maupun di kehidupan yang akan datang. Mereka mungkin akan terlahir bahagia di salah satu alam surga. Lebih jauh lagi, mungkin saja pasangan suami istri yang saling mencintai dan membahagiakan ini akan bersama terlahir kembali sebagai suami istri di berbagai kehidupan berikutnya. Hal ini sangat wajar. Dikisahkan dalam riwayat hidup Sang Buddha, Pangeran Siddhattha dan Yasodhara selalu terlahir sebagai pasangan hidup sampai 547 kali kehidupan. Inilah tujuan keempat dalam suatu rumah tangga yang berbahagia.

Oleh karena itu, agar keempat tujuan berumah tangga tersebut dapat dicapai, jadikanlah kehidupan suami istri sebagai langkah awal untuk berkarya bersama sesuai dengan Ajaran Sang Buddha. Jadikanlah pasangan hidup sebagai teman untuk mengisi setiap waktu kehidupan dengan berbuat kebajikan melalui badan, ucapan dan juga pikiran. Kebersamaan dalam cinta untuk bersama selalu berbuat baik inilah yang akan memberikan kebahagiaan kepada suami istri dalam kehidupan ini maupun kehidupan-kehidupan yang selanjutnya.

Semoga penjelasan singkat ini memberikan manfaat untuk para pasangan hidup dalam menentukan sikap dan karya nyata mereka di masyarakat.

Semoga semuanya selalu berbahagia dalam Buddha Dhamma

Semoga semua mahluk hidup selalu berbahagia.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta.


Transkrip: Umat Buddha Medan
Editor : B. Uttamo

KESADARAN ITU MEMBEBASKAN

Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada penutupan Retret MMD Seminggu di Vihara Mendut, 1 Januari 2009

Para Ibu, Bapak & Saudara peserta meditasi,

Hari ini adalah akhir latihan meditasi yang Ibu, Bapak & Saudara ikuti di Vihara Mendut dengan bimbingan Dr. Hudoyo. Banyak orang sering mempunyai anggapan bahwa penderitaan dan kebahagiaan itu berada di luar diri kita. Kemudian kita berusaha keras untuk mencari kebahagiaan, sehingga mengalaminya. Dalam hal penderitaan, banyak orang menganggap bahwa penderitaan yang berasal dari luar itu masuk menghantam diri kita dan membuat kita menderita.

Sebetulnya, Ibu, Bapak & Saudara, kebahagiaan dan penderitaan itu tidak berada di luar diri kita. Kalau kita mencari di luar, memilah-milah, melihat di segala sudut di luar diri kita, kita tidak akan menemukan kebahagiaan atau penderitaan. Di manakah sesungguhnya penderitaan dan kebahagiaan itu berada? Penderitaan dan kebahagiaan itu kita alami di dalam diri kita ini; maka penderitaan dan kebahagiaan itu sebetulnya tepat, persis, berada di dalam diri kita sendiri. Bukan dicari di luar dan juga tidak datang dari luar lalu masuk ke dalam diri kita.

Penderitaan terjadi, kebahagiaan dialami, tidak lain karena pikiran kita memberikan reaksi, tanggapan, terhadap segala sesuatu. Kalau pikiran itu menanggapi dan memberikan reaksi terhadap segala sesuatu yang tidak sesuai dengan selera kita, timbullah rasa tidak senang, timbullah penderitaan, ketegangan, dan sebagainya. Di mana hal itu dirasakan? Tidak di luar, tetapi di dalam diri ini. Kalau pikiran memberikan reaksi, tanggapan, terhadap segala sesuatu yang ditangkap oleh pancaindera maupun terhadap kenangan atau ingatnan-iangatan pikiran itu sendiri—kalau reaksi atau tanggapan itu—sesuai dengan selera kita, berarti menyenangkan, maka timbullah yang disebut bahagia, rasa nyaman, puas.

Tetapi, apakah yang sering kita alami dan kita namakan kebahagiaan itu kekal? Sama sekali tidak; sebentar kesenangan atau kebahagiaan itu lenyap. Demikian juga penderitaan. Kalau kita mengamat-amati—dengan kalimat lain, kalau kita menyadari—saat penderitaan muncul atau saat kebahagiaan muncul, menyadari saja, maka padamlah penderitaan itu, padam. Dan padamlah juga kebahagiaan yang hanya sebentar itu, padam. Pada saat penderitaan padam, pada saat kebahagiaan atau kesenangan padam, timbullah rasa bahagia yang lebih halus, atau ada yang menjelaskan dengan kalimat: timbullah kesunyian yang mendalam. Kebahagiaan yang lebih halus atau kesunyian yang mendalam timbul karena kesadaran memperhatikan penderitaan atau kebahagiaan, kemudian fenomena mental itu lenyap, berganti dengan kebahagiaan yang mendalam, berganti dengan kesunyian yang mendalam, atau ketenangan yang lembut—demikianlah berbagai istilah digunakan. Itu pun juga tidak boleh luput dari kesadaran kita; sadari saja!

"Apakah kita tidak menikmatinya, Bhante?"—Kalau kita menikmati, maka apa yang dikatakan kebahagiaan yang halus, kesunyian yang mencekam, ketenangan yang mendalam itu akan menjadi kelengketan baru, akan menjadi ketagihan kembali. Kalau fenomena mental yang disebut mendalam atau lembut itu tidak segera disadari, akan menyelinaplah pikiran ingin menikmati yang halus-halus itu kembali. Oleh karena itu, sadarilah.

Ibu, Bapak & Saudara,

Menjelang Tahun Baru, ada sebagian saudara kita yang mempunyai kebiasaan, beberapa menit menjelang pukul 24.00 dia merenungkan hal-hal setahun yang sudah lewat sampai menangis. Dadanya merasa sesak, air matanya bercucuran. Kemudian dia berdoa, sampai beberapa menit melewati pukul 24.00 atau pukul 00.00. Setelah itu dia merasa puas, lega. Pada suatu kesempatan menjelang Tahun Baru, orang ini tertidur, dan terbangun sudah pukul satu malam. Dia tidak sempat melakukan ritual menangis menjelang tutup tahun, juga tidak sempat berdoa sampai melewati tengah malam. Dia kecewa, dia susah, sangat tertekan, tidak bahagia. Bagaimana mengatasi hal ini?

Satu cara mungkin dia menghibur dirinya dengan mengatakan, "Ini toh bukan ajaran agamaku, menangis menjelang tutup tahun dan berdoa sampai lewat tengah malam bukan kewajiban agama. Jadi aku tidak perlu menyesal, tidak perlu bersedih.” Bisa juga diatasi dengan pandangan filosofis, "Yah, kalau malam hari ini lupa menangis dan lupa berdoa, bukan berarti kehidupan saya setahun yang akan datang ditentukan oleh tangisan dan doa awal tahun. Saya tidak menangis, tidak berdoa, tidak melakukan ritual itu, karena tertidur. Bukan berarti kehidupan saya setahun kemudian buruk.” Itu pandangan filosofis. Tetapi diatasi dengan dalil agama, diatasi dengan pandangan filosofis, dia tetap saja merasa kecewa; ada sesuatu yang mengganjal rasanya. Karena, dia melewatkan akhir tahun ini dengan tidak menangis dan tidak berdoa. Dia sulit menghilangkan kekecewaan, penderitaan, dan ganjalan itu. Mengapa? Karena kebiasaan itu sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun dan memberikan kenikmatan; menangis akhir tahun memberikan kenikmatan, berdoa akhir tahun juga memberikan kepuasan, dan tahun ini dia tidak melakukannya, maka menjadi penderitaan, ketegangan, ganjalan, dan sebagainya.

Sebenarnya cara yang baik untuk mengatasi hal-hal yang mengganggu pikiran dia itu adalah dengan menyadari pada saat timbul pikiran, "Aku kok tidak menangis," disadarilah. Tidak usah dilawan dengan dalil agama, tidak usah dicarikan alasan filosofis, dengan disadari, maka hal itu akan hilang sendiri. Ketegangan itu akan berhenti, ganjalan itu akan berhenti. Tetapi, nanti bisa muncul kembali karena kadar kelekatan, kelengketan itu cukup kuat, ritual itu sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun, dan kesempatan itu hanya terjadi sekali saja pada akhir tahun, sedangkan tahun ini dia lupa. Kalau penyesalan itu muncul kembali, kemudian diikuti dengan penderitaan, dengan ketegangan, maka sadari kembali. Dalam bahasa daerah disebut: 'eling’ kembali. Saat kita sadar, saat kita eling, itu akan berhenti. Itulah, Ibu, Bapak & Saudara, pengalaman yang Ibu, Bapak & Saudara dapatkan selama Ibu, Bapak & Saudara bermeditasi secara intensif di Vihara Mendut ini.

Perkenankan saya untuk memberikan tambahan cerita. Beberapa waktu yang lalu, beberapa kali saya diundang dalam pertemuan lintas agama yang juga dihadiri tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang datang dari Poso, dari Ambon, dari daerah yang dilanda konflik dalam waktu yang panjang. Di antara mereka yang hadir di Yogyakarta dari daerah-daerah konflik itu, ada keluarga atau famili mereka yang menjadi korban, meninggal dunia. Dan tidak hanya satu-dua orang. Apa yang menjadi persoalan? Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyembuhkan luka batin; mereka menggunakan istilah 'luka batin' karena kepedihan, kesedihan, penderitaan yang kemudian muncul menjadi kebencian, dendam, sulit untuk diatasi. Ajaran agama dikemukakan; di dalam pandangan Buddhis, "Terima saja. Apa yang terjadi adalah akibat dari karma, perbuatan Anda sendiri yang lampau." Saudara-saudara kiami yang lain mengatakan, "Terima saja, itu sudah takdir Tuhan." Tetapi dengan jujur mereka mengatakan, "Saya mengerti penjelasan itu, tetapi sangat sulit saya mengatasi luka batin yang menekan batin saya." Bahkan di antara mereka ada yang mengatakan, "Anda dengan mudah bisa mengucapkan pandangan-pandangan yang arif, yang bijak, karena Anda tidak mengalami sendiri, bagaimana kalau suami Anda, atau anak Anda, atau orang tua Anda di bunuh. Dan ada yang tidak hanya satu, tetapi lebih dari satu anggota keluarga kita yang dibunuh. Kita masih bisa melihat, bertemu dengan pembunuh-pembunuhnya; sulit mengatasi luka batin itu.”

Pada kesempatan itu, saya pun menyampaikan kepada mereka cara kesadaran. Luka batin itu, yang memedihkan, menyedihkan, yang mungkin sangat mendalam, yang menimbulkan kebencian, dendam, cobalah tidak usah diatasi dengan bermacam-macam dalil atau alasan. Batin Anda tidak perlu dihibur dengan berbagai alasan. Karena nanti batin Anda akan menolak terus, menolak, menolak; menolak alasan atau hiburan yang datang untuk memadamkan kepedihan dan luka batin itu. Akan terjadi perdebatan yang hebat antara batin yang pedih dan terluka dengan alasan atau hiburan yang kita munculkan. Oleh karena itu, sadari saja. Sadari kalau memori itu muncul, kalau kebencian itu muncul, sadari. Kalau keinginan untuk membalas itu muncul, sadari. Kalau rasa pedih tiba-tiba muncul tanpa alasan, sadari. Dia akan padam. Harapan saya semoga mereka bisa memahami, dan kemudian melakukan; karena tidak banyak di antara mereka yang pernah bermeditasi. Kalau Ibu, Bapak & Saudara pernah bermeditasi, meskipun tidak lama, atau tidak sering mengikuti retret meditasi seperti ini, Ibu, Bapak & Saudara akan mengerti, apakah yang disebut dengan kesadaran itu, apakah yang disebut dengan eling itu: sangat berguna. Saya memilih istilah 'sangat berguna' dibandingkan dengan istilah 'sangat mulia', 'sangat berharga'—sangat berguna—untuk membebaskan segala macam beban pikiran atau beban mental kita.

Perkenankan saya memberikan tambahan cerita; Ibu, Bapak & Saudara sehari-hari juga mendapatkan beban mental dari keseharian yang sederhana dan mungkin juga berat. Kita mungkin tiba-tiba teringat bahwa dua-tiga hari kemudian akan menghadapi suatu masalah yang berat, maka timbullah beban mental. Dan itu sampai membuat seseorang pucat, bersedih, ketakutan. Kalau Ibu, Bapak & Saudara pernah bermeditasi mengerti kesadaran, sadarilah, elinglah, maka beban mental itu akan padam, sesaat. Kalau nanti muncul kembali, sadari kembali. Kalau Ibu, Bapak & Saudara sering menghadirkan kesadaran, maka kesadaran itu juga akan sering hadir, menyadari pikiran, perasaan yang timbul.

Ibu, Bapak & Saudara,

Pada saat kesadaran itu absen, pikiran yang membebani mental kita itu sangat menekan, membuat kita merasa seperti tidak ada lagi jalan untuk terbebas; mengeluh, bahkan ada yang menangis meraung-raung bergulung-gulung. Tetapi begitu kita sadar, maka berhentilah tekanan-tekanan mental yang begitu berat. Kita juga harus menyadari kenikmatan, kesenangan, kepuasan yang muncul; tidak hanya kesedihan, tidak hanya kemarahan, tidak hanya keinginan-keinginan yang buruk; karena kesenangan, kepuasan, kenikmatan yang muncul itu kalau tidak disadari akan menimbulkan ketagihan.

Ibu, Bapak & Saudara,

Saya akan menguraikan sedikit lagi sebagai bagian akhir uraian pagi hari ini. Hal yang paling penting bagi kita sebetulnya adalah menyadari—meskipun tidak mampu terus-menerus—sebanyak mungkin terhadap munculnya pikiran keakuan. Kadang-kadang timbul pikiran, "O, aku lebih baik dari dia," dalam berbagai hal: pengetahuan, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Itu adalah keakuan, yang kalau tidak disadari, tentu keakuan itu akan berkembang, menimbulkan kecongkakan, menimbulkan kesombongan, dan menimbulkan tindakan-tindakan yang bisa merugikan orang lain. Pikiran keakuan yang lain adalah, "O, aku masih sama dengan dia, tidak lebih tinggi, tidak lebih rendah." "Apakah ini juga keakuan, Bhante?"—Ya, ini adalah keakuan juga, dan pikiran keakuan itu kalau tidak disadari, maka akan berkembang, membuat seseorang kemudian berpikir, "Karena saya masih sama, maka saya harus melakukan sesuatu sehingga bisa melebihi dia." Atau pikiran yang lain timbul, “Karena saya sama, maka saya tidak lebih jelek dari dia." Pikiran keakuan lain lagi yang timbul adalah, "O, saya masih lebih rendah dari dia, saya lebih bodoh, saya lebih tidak mengerti, meditasi saya lebih jelek." Ini pun keakuan. Kalau keakuan ini tidak diatasi, akan membuat beban mental yang lain.

"Lalu bagaimana, Bhante, mengatasinya? Apakah dengan pandangan-pandangan filosofis, bahwa merasa lebih rendah juga berbahaya, merasa sama juga ada risikonya, merasa lebih tinggi juga membahayakan yang lain?”—Tidak. Ibu, Bapak & Saudara yang mengerti kesadaran, pernah melatih meditasi dan tetap melatih meditasi, sadari saja keakuan itu, maka keakuan itu akan padam. Aku yang merasa lebih, aku yang merasa sama, atau aku yang merasa kurang dari yang lain, sadari saja!

"Tetapi apakah kita tidak boleh melakukan sesuatu, Bhante?"—Mengapa tidak boleh? Lakukanlah hal-hal yang baik, karena Anda tidak sepanjang masa tinggal di vihara, retret, Anda berada di masyarakat. Lakukanlah hal-hal yang baik tanpa membandingkan antara aku dengan yang lain: "O, aku lebih rendah, aku lebih kurang, aku harus berbuat lebih dari dia." "O, aku sama dengan dia, aku harus melanjutkan yang sama ini supaya tidak melorot, atau menambah supaya lebih tinggi." "O, aku lebih tinggi dari dia, aku sudah cukup, dan aku harus mempertahankan kondisi yang lebih tinggi ini supaya tidak melorot."

Dalam kehidupan biasa memacu diri dengan cara membandingkan dirinya terhadap orang lain mungkin ada baiknya, tetapi dalam perkembangan membebaskan pikiran kita dari penderitaan, pandangan seperti itu tidak bermanfaat. Lakukanlah hal-hal yang baik tanpa membandingkan antara aku dengan yang lain.

Ibu, Bapak & Saudara,

Oleh karena itu, bolehlah saya memesankan: meditasi tidak berhenti pada hari ini; lanjutkan dalam keseharian Ibu, Bapak & Saudara. Hadirkan kesadaran untuk menyadari pikiran apa pun, perasaan apa pun yang menjadi beban mental, tekanan batin, luka batin, ataupun kepuasan, kebahagiaan, kenikmatan; sadari, sadari. Dengan menyadari kita akan membebaskan mental kita, batin kita, dari beban; mungkin hanya sesaat, tetapi itulah kebebasan. Anjuran saya juga, duduklah bermeditasi sehari paling tidak satu kali, setengah jam atau satu jam. Memang kesadaran itu bisa hadir pada saat kita duduk, pada saat kita berdiri, berjalan atau berbaring, tetapi para guru meditasi menjelaskan bahwa dalam posisi duduk maka hadirnya kesadaran menjadi lebih kuat, lebih tajam.

Ibu, Bapak & Saudara,

Guru Agung Buddha Gotama juga mengatakan "Ajaran yang Kuajarkan ini seperti rakit. Kalau rakit itu tidak digunakan menyeberang di sungai, hanya dipegang atau dijunjung di atas kepala saja, tentu tidak bermanfaat. Sering Dhamma yang diajarkan oleh Guru Agung Buddha Gotama itu oleh umat Buddha dijadikan bukan sebagai rakit, tetapi hanya dipegang di atas kepala, sehingga ajaran itu kemudian sering menimbulkan perdebatan. "Perdebatan dengan siapa, Bhante? Dengan orang lain?" Yang lebih sering, berdebat dengan dirinya sendiri. "Ajaran mengajarkan begini, tetapi diriku mengapa masih seperti ini, aku masih belum maju, belum bisa melaksanakan ajaran. Ajaran mengajarkan seperti ini, tetapi aku bersikap begini. Hal ini tidak termasuk yang dibolehkan atau yang dilarang? Tetapi melanggar sedikit, boleh, ‘kan?” Begitulah, timbul perdebatan—mungkin dengan istilah lain: pertikaian—timbul pertikaian antara ajaran yang diketahui, dimengerti, diyakini, dengan kondisi batinnya, dengan perilakunya yang masih belum cocok. Perdebatan atau pertikaian ini menimbulkan ketegangan, rasa bersalah, merasa menjadi umat yang belum mampu mengikuti ajaran, bahkan sering juga timbul pemikiran: "Apakah meditasiku ini sudah benar?" Dan hal-hal itu kemudian menjadi masalah dalam pikirannya sendiri. Sulit dihilangkan. Nah, perdebatan-perdebatan, pertikaian-pertikaian di dalam pikiran kita sendiri itu harus berhenti dengan kesadaran. Pada saat kesadaran hadir, pada saat itu kita mulai menggunakan rakit itu, tidak meletakkan rakit hanya di atas kepala; karena pada saat kesadaran hadir, pada saat kita eling, perdebatan atau pertikaian di dalam pikiran antara ajaran dengan kondisi dirinya, keragu-raguan, dan sebagainya, menjadi padam. Itulah kebebasan, meskipun hanya sesaat.

Kalau boleh dinamakan 'tujuan', tujuan kita bermeditasi adalah kebebasan; kebebasan dari kelekatan, dari kelengketan terhadap apa pun. Dan kalau Anda menghadirkan kesadaran, Anda mengalami kebebasan itu. Bukan sesuatu yang nun jauh di sana, dan harus dicapai setelah kita dilahirkan berulang-ulang, melainkan sekarang juga. Pada saat kesadaran hadir, Anda mengalami kebebasan. Kesadaran itu membebaskan.

Semogalah latihan Ibu, Bapak & Saudara memberikan manfaat, sekarang dan juga untuk kemudian. Terima kasih.

HANYA MENYADARI SAJA, TIDAK MEMADAMKAN

Wejangan Sri Pannyavaro Mahathera pada pembukaan Retret MMD Seminggu di Vihara Mendut, 24 Desember 2008


Dr. Hudoyo, pembimbing meditasi,
Para Ibu, Bapak, Saudara peserta meditasi pada akhir tahun 2008 ini,

Sebagai Kepala Vihara Mendut, saya mengucapkan selamat datang kepada para peserta. Bagi para peserta yang sudah beberapa kali mengikuti meditasi di vihara ini, tentu ini selamat datang untuk yang kesekian kalinya. Bagi Ibu, Bapak & Saudara yang baru pertama kali mengikuti meditasi ini, tentu selamat datang yang pertama bagi Ibu, Bapak, Saudara. Selamat datang di Vihara Mendut untuk mengenal meditasi dan sekaligus melatih meditasi.

Para Ibu, Bapak, Saudara,

Semua orang tentu menginginkan hidup bahagia. Kebahagiaan menjadi obsesi, menjadi tujuan hampir semua orang, apa pun agama, kepercayaan, tradisi, atau adat-istiadat mereka. Kemudian, tiap-tiap orang berusaha untuk membuat rincian, meskipun mungkin tidak mendetail, gambaran tentang apakah bahagia yang mereka inginkan? Seperti apakah kebahagiaan itu?

Ibu, Bapak & Saudara,

Cita-cita atau harapan kebahagiaan itu kemudian diusahakan untuk dicapainya. Lalu, harapan atau keinginan untuk bahagia itu menumbuhkan keinginan-keinginan lain yang sangat banyak. Mengapa keinginan-keinginan lain tumbuh sangat banyak? Keinginan-keinginan itu tumbuh seiring dengan tumbuhnya segala usaha yang dilakukan untuk mencapai hidup bahagia.

Apa yang menjadi fenomena, apa yang menjadi gejala kemudian? Sesungguhnya, yang terjadi kemudian adalah ketidakbahagiaan. Mengapa? Karena keinginan atau harapan untuk bahagia itu justru membuahkan penderitaan. Harapan menimbulkan kegelisahan, harapan menimbulkan kekhawatiran, harapan membuat seseorang, kita semua, waswas, dan kalau tidak terpenuhi, kecewa.

“Tetapi, Bhante,” ada yang menanyakan, “kalau keinginan atau harapan itu terpenuhi, bukankah kita bahagia?”—Ya, kita bahagia sebentar, karena tidak ada bahagia yang abadi. Dan kalau bahagia sebentar itu lenyap, maka timbullah ketagihan, kecanduan, keinginan yang lebih berkobar-kobar.

Sesungguhnya, Ibu, Bapak & Saudara, kebahagiaan yang benar, dan “kebahagiaan” ini harus ditulis dengan tanda petik, tidak dicapai dengan keinginan. Kebahagiaan yang benar justru akan tumbuh—begitulah bahasa yang boleh kita pakai—kalau keinginan dikurangi. Bukan dengan menambah keinginan lalu tercapai, itulah kebahagiaan. Bukan! Tetapi dengan berkurangnya keinginan, lenyapnya keinginan, justru itulah kebahagiaan yang benar.

“Apakah mungkin, Bhante, melenyapkan keinginan, membuang keinginan selama kita hidup di masyarakat, baik sebagai bhikkhu, rohaniwan ataupun sebagai perumah tangga?”—Memang sulit, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat kita hanya selektif, menyeleksi keinginan. Mengapa? Karena kalau keinginan bertambah, maka masalah pun bertambah. Kalau masalah bertambah, penderitaan juga bertambah. Ini bukan dalil agama, Ibu, Bapak & Saudara, ini adalah hukum alam. Kalau Ibu, Bapak & Saudara menambah keinginan, menambah harapan, maka waswas bertambah, gelisah bertambah, kekhawatiran bertambah, kekecewaan bertambah, penderitaan bertambah. Tetapi kalau keinginan dikurangi, maka masalah juga akan berkurang. Kalau masalah berkurang, ketegangan juga berkurang. kekhawatiran berkurang, penderitaan berkurang.

Tetapi, Ibu, Bapak & Saudara, selama Ibu, Bapak & Saudara tujuh hari mengikuti meditasi di vihara ini—meditasi yang kita kenal dengan nama Meditasi Mengenal Diri, atau boleh juga disebut meditasi Vipassana, atau hanya meditasi saja, karena nama tidaklah penting—Ibu, Bapak & Saudara bisa berlatih dan mengalami, untuk membuang hampir semua keinginan. Tidak perlu memikirkan besok masak apa, apa yang harus disiapkan, apa yang harus dikerjakan, karena semua sudah disiapkan oleh vihara ini, sederhana sudah tentu, sesuai dengan kemampuan kami, untuk membantu agar Ibu, Bapak & Saudara mempunyai latihan dan mengalami kondisi atau dimensi membuang keinginan secara maksimal. Tentu masih ada keinginan, tetapi keinginan itu keinginan yang fungsional, seperti ingin ke belakang, ingin melangkahkan kaki, makan pagi sebagai kebutuhan untuk kelangsungan fisik kehidupan ini, makan siang, berbaring—keinginan-keinginan fungsional yang sangat terbatas. Keinginan yang lain ditiadakan.

Tetapi apakah mudah? Tidak. Meskipun Ibu, Bapak & Saudara, dan kita sudah bersepakat, bahwa selama tujuh hari ini kita tidak ingin mempunyai keinginan apa-apa; keinginan yang ada hanya sesedikit mungkin, keinginan-keinginan fungsional sehari-hari. Meskipun sudah disepakati seperti itu, keinginan itu tetap muncul saja, mengganggu pemikiran kita. Bahkan mungkin semakin hebat, semakin hebat; apalagi bagi Ibu, Bapak & Saudara yang belum pernah melatih meditasi, dan kali ini adalah kali yang pertama, dengan waktu yang cukup panjang, tidak hanya Jumat, Sabtu, Minggu, melainkan satu minggu.

Lalu, bagaimana cara kita untuk membuang keinginan itu? Cara membuang keinginan bukan dengan sederhana berucap, “Aku tidak ingin punya keinginan.” Dalam bahasa kasar, “Lho, mengapa masih muncul saja keinginan? Bukankah aku sudah sepakat untuk tidak mau punya keinginan?”—Biar, Ibu, Bapak & Saudara, biar. Tidak usah marah, tidak usah merasa tidak berhasil. Tidak usah menyalahkan diri sendiri, mengapa keinginanku masih saja berkobar-kobar, tidak bisa dibuang; dikurangi saja tidak bisa. Tidak usah marah, tidak usah menyalahkan diri sendiri, tidak usah kecewa. Keinginan yang muncul itu juga tidak usah dipadamkan. Dalam bahasa sehari-hari, “Lho, mengapa tidak dipadamkan? Tadi di depan dijelaskan, keinginan harus dikurangi, dibuang sampai maksimal. Sekarang kalau keinginan muncul mengapa tidak boleh dipadamkan?”—Kalau Ibu, Bapak & Saudara berusaha untuk memadamkan keinginan itu, maka ributlah pikiran ini. Keinginan yang muncul dilawan dengan keinginan untuk tidak mau punya keinginan. Maka keinginan perang melawan keinginan. Pusinglah, ramailah pikiran kita.

Meditasi hanya mengamat-amati saja, menyadari kalau keinginan muncul, keinginan ini keinginan itu, ingatan ini ingatan itu, mau seperti ini mau seperti itu. Tugas kita bermeditasi hanya menyadari saja; tidak memadamkan, tidak menggempur, tidak menganalisis dari mana datangnya, tidak merentang-rentang apakah ini wahyu, apakah ini vision, tidak. Kita hanya menyadari saja, menyadari dengan pasif, menyadari dengan pasif. Nanti keinginan-keinginan itu padam sendiri. Padam bukan dengan keinginan untuk dipadamkan, hanya disadari, disadari, disadari saja.

Itulah secara garis besar latihan Ibu, Bapak & Saudara selama seminggu ini. Tidak perlu doa, tidak perlu meminta-minta, tidak perlu mengharap berkah dari siapa pun, tidak ada ritual-ritual, upacara-upacara yang harus ditaati. Tetapi sadarilah pikiran, perasaan, jasmani; jasmani, perasaan, pikiran. Guru-guru meditasi sering menjelaskan, mukjizat itu bukannya kalau kita bisa terbang, mukjizat itu bukannya kalau kita bisa melihat makhluk-makhluk halus, mukjizat itu bukan pula pada saat kita duduk bermeditasi mengalami yang aneh-aneh; tetapi mukjizat itu pada waktu kita berjalan kita menyadari langkah kaki kita yang menempel di bumi ini; itulah mukjizat, kalau hal itu boleh disebut mukjizat. Mukjizat bukannya mampu membaca pikiran orang, melihat makhluk halus, pergi ke alam lain, melainkan mampu menyadari timbulnya pikiran sendiri apa pun juga, mampu menyadari timbulnya perasaan sendiri apa pun juga.

Oleh karena itu, di dalam meditasi ini semua menjadi objek: pikiran yang disebut baik, tidak baik, pikiran bagus, pikiran luhur, pikiran bersalah, pikiran jorok, ingatan masa lalu, kenangan yang pahit, kenangan yang manis, khayalan, rencana segala macam, semuanya mempunyai fungsi yang sama: diperhatikan. Pikiran yang baik juga diperhatikan, pikiran yang buruk juga diperhatikan.

Dan tidak usah dinilai: ini baik, ini buruk. Perasaan senang yang timbul juga diperhatikan, perasaan tidak senang yang timbul juga diperhatikan; perasaan sedih diperhatikan, perasaan gembira juga diperhatikan, tidak dicegah, tidak dibesar-besarkan. Dan tidak usah diberi nama: “O, ini senang; o, ini tidak senang.” Untuk menjelaskan, memang, saya menggunakan kalimat: “Perasaan senang diperhatikan, perasaan tidak senang diperhatikan.” Tetapi di dalam praktik, sadari saja. Tidak usah diberi label, diberi nama: “O, ini senang, ini tidak senang.” Karena kalau kita memberikan nama, nanti kekuatan senang menjadi lebih besar, kekuatan tidak senang menjadi lebih besar. Kita lebih serakah pada yang menyenangkan, kita lebih benci pada yang tidak menyenangkan, karena konsep senang dan tidak senang dipertajam dalam meditasi dengan memberikan label, “O, ini senang, ini tidak senang.”

Jadi, kalau ada perasaan yang mengganggu, disadari saja, “O, perasaan begini,” sudah cukup. “O, pikiran muncul; o, pikiran muncul,” cukup. Di dalam penjelasan-penjelasan bahkan dikatakan, dalam meditasi yang sering dikenal dengan sebutan vipassana ini, pada tingkat-tingkat tertentu di dalam teori dikatakan akan timbullah yang disebut nyana, pengetahuan bukan dari hasil pemikiran intelektual, bukan dari hasil berfikir, tetapi hasil meditasi. Pengetahuan hasil meditasi itu pun juga kotoran batin yang halus, vipassana-upakilesa. Jadi, apa fungsi kita? Fungsi kita hanya menyadari saja, menyadari, pasif, menyadari, pasif. Tidak menjadi kebanggaan, tidak menjadikannya sesuatu yang sangat luar biasa. karena kalau dikelompokkan pengetahuan yang muncul dari meditasi itu juga kelompok kotoran batin yang halus. Jadi diperhatikan saja.

Dengan memperhatikan, memperhatikan, memperhatikan, maka keinginan itu akan padam, padam, padam. Padamnya keinginan itulah lenyapnya penderitaan. Istilah ‘lenyapnya penderitaan’ lebih tepat kalau ingin digunakan, daripada menggunakan “kebahagiaan”. Lenyapnya penderitaan itulah “kebahagiaan yang benar” dalam tanda petik. Daripada menggunakan istilah “kebahagiaan”, ‘lenyapnya penderitaan’ menjadi kalimat yang lebih tepat untuk menamakan padamnya keinginan.

Ibu, Bapak & Saudara,

Gunakanlah waktu tujuh hari ini untuk mengamati jasmani, langkah kaki, nafas, perasaan yang timbul, pikiran, termasuk ingatan, kenangan. Tidak usah tegang, tetapi tidak malas. Dalam bahasa Jawa dikatakan jangan ndlenger. Dalam bahasa gaul, banyak anak-anak muda yang ikut meditasi, mereka mempunyai istilah, “O, kalau kita ingin ikut vipassana, ingin ikut MMD ini, harus ‘sersan’,” katanya. Apa itu ‘sersan’? Serius tapi santai. Kalau serius saja, maka nanti keinginan akan muncul, keinginan “Saya ingin bermeditasi sungguh-sungguh, saya ingin membuang keinginan sungguh-sungguh,” apalagi kalau, “Saya ingin mendapatkan pengalaman yang aneh-aneh.” Serius. Ya, keinginan justru berkembang, bertambah, bukan berkurang. Tetapi kalau santai, tidak menghadirkan kesadaran, santai saja, banyak tidur—kalau nanti tidur di ruang tidur tidak enak, ya duduk di tempat meditasi tetapi tidur—ya, itu terlalu santai. Meditasi menghadirkan kesadaran dengan wajar; menghadirkan kesadaran itu yang oleh anak-anak muda di katakan serius, tetapi wajar, wajar itulah santai. Serius tapi santai, santai tapi kesadaran harus hadir.

Ibu, Bapak & Saudara,

Semogalah selama tujuh hari, Dr. Hudoyo akan mendampingi, memberikan bimbingan, Ibu, Bapak & Saudara akan mendapatkan kemajuan. Kalau saya menyebutkan ‘kemajuan’ di sini, kemajuan itu adalah mampu melihat pikiran, mampu melihat perasaan, mampu melihat gerak-gerik jasmani; melihat dengan kesadaran. Paling tidak kita mengalami berkurangnya keinginan. Pada saat keinginan berkurang, pada saat itulah mulai bebas dari penderitaan.

Dan nanti setelah selesai meditasi ini, Ibu, Bapak & Saudara pulang ke rumah, Ibu, Bapak & Saudara bisa menggunakan pengalaman selama tujuh hari ini untuk menghadirkan kesadaran dalam keseharian. Karena tidak ada gunanya mengikuti retret kalau kesadaran dalam keseharian tidak dihadirkan.

Apalagi di antara saudara-saudara kita ada yang bangga, “O, saya sudah ikut retret sepuluh kali, Anda baru berapa kali, baru dua kali?”—Tidak menjadi ukuran, sepuluh kali atau dua puluh kali ikut retret, tidak menjadi ukuran sejauh mana penderitaan berkurang, kebebasan bisa dialami. Tetapi menghadirkan kesadaran itulah yang penting, di vihara ini maupun dalam kehidupan Ibu, Bapak & Saudara sehari-hari.

Semogalah latihan ini bermanfaat. Terima kasih.

*****

Sumber : http://meditasi-mengenal-diri.org/mmd_krishnamurti_vipassana.html